Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Imam Haryono mengatakan, kondisi Pelabuhan Tanjung Priok saat ini sudah sangat padat. Sebagian kontainer yang ada di Priok akan bisa dialihkan ke Pelabuhan Cilamaya, jika pelabuhan ini sudah dibangun.
"Kondisi di Tanjung Priok itu 7,2 juta TEUs (per tahun). Diharapkan tahun 2020 Cilamaya itu bisa menangani 35% total container yang masuk Tanjung Priok. Sekitar 3,2 juta," kata Imam kepada detikFinance, Jumat (22/8/2014).
Imam menambahkan, kapasitas kedalaman pelabuhan Cilamaya nantinya sudah bisa disandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan internasional.
"Kedalaman sudah 17 meter. Sebagai gambaran Pelabuhan Busan di Korea itu 17 meter. Rotterdam itu 17 meter. Berarti sudah masuk yang besar-besar," tambah Imam.
Menurutnya kehadiran pelabuhan baru pendukung Pelabuhan Tanjung Priok akan mampu mengurangi biaya logistik dan mempersingkat dwelling time atau waktu bongkar muat. Meski tak menyebut angkanya, Imam mengatakan pengaruhya akan signifikan.
"Mengurangi biaya logistik. Misalnya dari segi dwelling time. Itu sedang dihitung. 6,02 hari di Priok. Target bisa 4 hari di akhir tahun ini," katanya.
Rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya menimbulkan kontroversi. Pasalnya, proyek pembangunan akan mengancam anjungan minyak milik PT Pertamina. Anjungan tersebut memasok kebutuhan bahan bakar untuk pembangkit listrik milik PLN, salah satunya di Muara Karang, Jakarta. Jika tetap dibangun, maka anjungan harus direlokasi dan produksi akan terhenti yang menyebabkan sebagian wilayah Jakarta akan gelap gulita karena tak ada aliran listrik.
Namun di sisi lain, keberadaan pelabuhan baru ini akan sangat membantu mengurangi beban Pelabuhan Tanjung Priok.
"Jika Cilamaya sudah selesai itu bakal signifkan lah. Belum dari pusat produksi ke portnya. Itu kan lebih pendek. Itu semakin efisien. Industriawan diuntungkan," tutupnya.
Sumber : detikcom